Saturday, July 30, 2016

Archived: Catatan Panjang Bulan Februari

Mood:
Love Paranoia by Tame Impala
Saliva by Mew

Ditengah gemuruh angin celotehmu memecah langit muram London.
Baru beberapa minggu setelah 2014 merelakan tahtanya ditumbang.
Yang awal mulanya keluh kesah tentang saudaramu, berubah jadi gelak tawa.
“Hari ini gue banyak ngomong ya?” tanyamu.
“Lumayan” tukasku seraya melihat rautmu  “Nggak papa sih, namanya juga lagi kesel kan” 
-
Sesekali timbul tanya dalam hati, tentangmu yang kerap menghabiskan waktu merajut kata dalam pikiran ketimbang menyuarakannya untuk didengar oranglain.
“Kapan terakhir kali kamu senyaman ini bercengkrama?" dan 
"Selain denganku, kepada siapa kamu bisa berbagi selepas ini?”
Lantas, ketika sempat kamu berucap mengenai gadis yang kau dekati
dan tidak juanya ia memenuhi jiwamu, ingin aku menyeletuk
“Lupa yang ngerti isi kepala & keabsurdan lo itu gue?"
Namun aku memilih diam.
Karena aku malas kalau guyonku disambut celotehmu yang kerap tajam.

Aku membiarkanmu terus bercerita.
Sesekali aku tergelak, mencibir, mengerenyitkan dahi.
Sesekali kamu membelalakan mata, menaikan suaramu, memimikan gelagat orang lain.
Waktu bergulir terburu-buru, matahari lekas dilahap kelam.
Dalam genggammu, jemariku mengecap hangat. 
Celotehmu berlanjut mengenai tulisanmu, 
bukumu, lebih tepatnya.
-
Lagi lagi kita tergelak,
Aku, dengan kencangnya, 
Kamu, dengan senyum lebar dan binar matamu.
Lucunya, disaat kita saling berujar & terbuka, begitu mudahnya kita bercengkrama,
seakan isi kepala satu sama lain saling bertaut. 
Nyaman. Aneh ya? Kututup dalam-dalam pikiran itu.
Yah namanya sudah kenal lama, wajar saja kalau nyaman.

Selera humormu masih sama.
Gerak gerikmu masih kaku.
Tidak semua orang bisa — atau mau mencoba, mengenalmu lebih.
Bagiku itu terasa mudah, seakan memang itulah yang seharusnya.

Mungkin kamu tahu sesuatu yang aku tidak ketahui.
Mungkin kita sama-sama tidak tau apa-apa.
Mungkin pada akhirnya kita memilih saling diam dan pura pura tidak tahu.
Sampai semua rasa hilang ditelan sunyi,
atau berubah jadi pahit kesalahpahaman.
-
Lalu dalam diam, terbesit dalam benakku sekiranya kamu tahu,
dahulu sempat ada manifestasi rasa rindu dan doa untuk kebaikanmu.
Begitu besar rasa sayang kita kepada satu sama lain, sampai kerap khayalakpun berdecak memuji. 
Kalau mereka saja bisa melihat, apalagi kita yang saling merasa?
Setidaknya akupun merasa dan melihat hal tersebut, karena sempat begitu besarnya usahaku memperjuangkan kita.
Begitu besarnya rasa sayang kita pada satu sama lain dan begitu kerasnya kita pernah terbentur.
Sejujurnya (mungkin) kita sudah terlalu nyaman seperti ini.
Sepertinya kekosonganmu sudah terisi oleh egomu, and semakin angkuh - namun ringkih, sosokmu di mataku.
Akupun mulai mengesampingkan perasaanku, lalu menukarnya dengan logika — atau, sesama ego.
Mungkin ribuan kata, gelak tawa, guratan kening, 
rengkuhan lengan dan tautan jemari belum jadi alasan yang cukup kuat.
Mungkin seberapa besarpun keinginanku untuk mengasihi dan membiarkan waktu dan perhatianku kau curi,
rasa takut dan pertimbanganku nyatanya lebih besar.
Ada yang bilang kalau jodoh tak akan kemana.
Diantara segala kecocokan kita, sempat aku berfikir apakah mungkin saja,
“Semesta masih memperjuangkan kita, anak manusia yang mungkin terlalu lugu?
Terlalu buta?
Terlalu keras hati?”


Setelah mengecup dirimu saat itu pula aku tersadar, kamu bukan lagi sosok yang aku inginkan.
Aku butuh sosok yang lebih kuat dari kamu yang dulu kukenal.
Bukan hanya untuk bertahan, tetapi saling melindungi.
Bukan hanya melindungi diri, tetapi berani merebut dan menjaga isi hatiku.
Bukan hanya untuk berucap logika, tapi berbagi isi hati.
Saat itu aku sadar kamu bukan lagi sosok yang aku mau.
Aku tersadar aku terlalu takut dihantam oleh rasa sakit yang sama, 
maka  aku mengesampingkan pertanyaanmu beberapa hari kemudian.

Mungkin suatu hari, di saat kita sudah sama-sama dewasa dengan kesibukan masing-masing,
Di saat luka sudah mengering,
Cerita kita akan muncul ditengah percakapan,
Kemungkinan besar, dengan guyon yang dipaksa nyempil di sana sini.

Because hey, that's what you do best, no?
Covering everything with humour
making people think as if their matter is not important.
You're that person who is never direct about your feelings.
-
Akhirnya, bagaimanapun kita, khalayak dan Tuhan sekalipun malaikat menyayangkan dan mempertanyakan,
apa artinya bila kita akhirnya hanya memilih berenang-renang di air dangkal pertemanan, 
takut dengan kelam laut didepan mata?
Ah sudahlah. Cukup.
Jemariku ini pun sudah mulai pegal rasanya.
Akupun tahu ada perbedaan diantara wanita yang menyerah, dan wanita yang memang berjuang hingga lelah.
Saat ini aku menutup hati sembari membuka celah kecil agar aku bisa melihat petarung lainnya. 
Yang rela mati-matian memperjuangkanku. 
Yang perhatiannya tidak membuatku merasa sangsi dengan perasaannya.
Yang menjadikanku pusat dari tata surya mereka - posisi di mana aku sempat menempatkanmu.
Yang berani menaruh gengsi di bawah perasaan - tidak seperti kamu. 

Dasar kamu bodoh. Dasar kamu pengecut.
Tulisan ini,
Untuk segala kemungkinan dan ketidakmungkinan.
Untuk segala puji-pujian dari khalayak, betapa baik dan indahnya bila kita bersama.
Untuk segala rasa takut, rasa nyaman, rasa candu, dan perasaan lainnya
yang mungkin atau tidak mungkin, masih tersangkut di sela sela kalimat dan jemari. 

No comments: