Wednesday, July 20, 2016

Kucing Pemabuk di Unit Gawat Darurat

Mood:
Open by Rhye
Didn't I by Darondo (cover by HONNE)

Wanita berbalut terusan putih menyiapkan jarumnya
Tak lama bulir merah nadiku mengalir melawan gravitasi
Menandakan dua jam lagi semua di ruang ini hendak tau penyebab tumbangku

Aku masih menyayangimu, ucapmu tiba-tiba
Terkejut, terlampau kalut untuk berbasa basi
Meracaulah aku menutupi kelu lidah

-

"Sial, sial, sial - telepon genggamku dibawanya ke luar."

Aku panik dan kaku
Kuacak-acak isi tasku
Kuputar-putar ujung rambutku
Dari ekor mata, curi-curi kupelajari sosokmu

"Jangan ngomel begitu, main ini dulu saja, buat Hanna, disimpan ya."

Sebongkah mainan dalam genggammu
Miniatur kucing menggengam segelas minuman - sake
Aku sadder betul kali ini lekat gerakku diperhatikan
Dari ekor mata, kamu melihatku bagai kajian

Aku menerka perihal kucing pemabuk itu 
Simbolmu melihatku? Kado yang kamu persiapkan?
Sekedar distraksi panik yang kebetulan saja -
Ingat ya, kebetulan saja, kamu si pecinta kucing, dan aku si penikmat minuman keras?

Pikiranku meracau namun patuh bersembunyi dalam relung
Dan detik ini baru mengucur berbentuk kata dalam layar
Karena nyatanya aku sama pengecutnya denganmu
Terlalu pengecut untuk tahu dan mencari tahu

-

Ratusan malam berlalu sejak kita memutuskan yang terbaik adalah saling berjarak
Puluhan minggu terlewat sejak surat terakhir berisi penjelasan seadanya
Tanpa pamit, tanpa mencoba mencari tahu, hanya praduga dan diam
Namun subuh itu, di instalasi gawat darurat, berkali kamu belai rambutku

Sesak dadaku saat itu dipastikan bukan didalangi sakit yang tertulis dengan tinta
Dan nyatanya tak mungkin saat itu aku merengek pada dokter perihal cinta
Berkali kata 'sayang' kamu luncurkan, terjun bebas sesuka hati
Tak lama namaku dipanggil - sembari kekasihku menunggu dengan nikotinnya di luar, kamu menggantikan posisinya

-

"Jujur saja, melihat Hanna sekarang aku tenang - akhirnya.
Senang melihat kamu dilimpahi kasih sayang.
Awalnya aku agak was-was,
Khawatir yang jelas."


"Nggak perlu khawatir, kamu selalu berlebihan, ya.
Aku kan kuat, tahan banting, jagoan katamu.
.....
Lagian, kamu, kok bisa-bisanya sih masih nyimpan perasaan sama aku?"


"Lah, kayaknya orang yang naruh hati sama kamu, 
kalau nggak bisa berpaling,
ya cari pengganti, pakai kamu jadi pembanding.

Pertanyaanku, kamu pakai pelet apa ya?"

"Ih, jahat banget.
Udah dibilang nggak pake pelet apa-apa juga."

"Hahahaha bercanda.
Eh sebentar, aku ke suster dulu,
Nama kamu dipanggil"

-

Satu sisi, ada rasa tak pantas karena begitu baiknya semesta
Oleh orang-orang baik - kamu contohnya
Besar aku dilimpahi sayang
Bukan tak tahu terima kasih, tapi kulempar tanya alih-alih tafsirku keliru

Sisi lain, mungkin nampak serakah, namun aku bahagia karena kamu masih memendam rasa
Tepatnya, membiarkan aku tahu perihal rasa yang kukira sudah mati
Terus-terus dibelai rambutku sampai gelap malam diganti mentari yang berbisik malu
Bahkan ketika kekasihku datang, hanya tersenyum dia berbisik 'ada yang belum bisa berpaling?'


"Aku sayang kamu, perasaan itu masih ada, 
walau sekarang sudah berubah bentuknya.
Tidak ingin menjadikan kamu kekasih.
Sudah cukup senang melihat kamu bahagia dengannya."

Lalu mendengar itu aku hanya bisa tertegun. 
Aku rasa hening yang bisa memberi jawaban terbaik untuk pernyataanmu itu.
-

Terimakasih sudah sempat merawatku dengan segala keterbatasan waktumu di sini.
Sudah memberitahukan sisa-sisa perasaanmu.
Sudah memberikan penjelasan dan kejelasan untukmu, dan untukku.
Terimakasih atas kejujuranmu.

Tulisan ini, untukmu ribuan kilometer di sana.
Semoga kamu juga bahagia dengan pilihanmu.


PS: Mereka (iya, termasuk kekasihku) yang meninggalkanku di ruang gawat darurat bersamamu ternyata tahu kamu (masih) menyimpan rasa sama aku, kekasihkupun sempat-sempatnya bilang lucu melihat matamu nggak bisa bohong.

PPS: Kekasihku? Nggak, dia nggak sebal sama kamu.
Malah dia kagum sama keberanianmu, kalau sempat nanti kita kumpul-kumpul lagi ya?
Kalau bisa jangan di instalasi gawat darurat.

No comments: